Banyak orang menduga bahwa anak introvert adalah anak yang pemalu. Namun sebenarnya tidak sama. Sifat pemalu memiliki unsur cemas, takut pada apa yang akan terjadi, kuatir. Seorang introvert bukanlah seorang pemalu, walau kadang anak introvert bisa memiliki sifat pemalu. Pada dasarnya, seorang introvert adalah seseorang yang senang menyendiri. Ia mendapatkan energi tambahan dengan menyendiri, tapi merasa gerah berada terlalu lama didalam keramaian.
Seorang introvert perduli akan dunia pikirannya. Ia menikmati kegiatan berpikir, berkhayal, mengeksplorasi pemikiran dan perasaannya. Biasanya ia menghindari situasi sosial karena berada di tengah orang banyak menguras energinya. Walaupun seorang introvert memiliki ketrampilan sosial yang baik, ia tetap perlu menyendiri setelah menghabiskan waktu cukup lama bersama orang lain misalnya di sebuah pesta.
Banyak orang tua menduga anaknya stres karena suka menyendiri. Namun stres atau depresi sangat berbeda dengan introvert. Anak introvert menikmati kesendiriannya, bahkan menjadi lebih segar dengan menyendiri. Justru jika mereka terlalu banyak berada bersama orang lain, kebutuhannya akan introspeksi akan terhambat.
Cara berkomunikasi anak introvert pun berbeda dengan anak sosial (ekstrovert). Anak introvert lebih suka memperbincangkan ide dan konsep, bukan hal remeh seperti percakapan sosial yang sekedar haha hihi.
Secara statistik, orang introvert sebenarnya mewakili sekitar 30% dari populasi dunia.
Mahatma Gandhi, Albert Einstein, Michael Jordan, J. K. Rowling (Harry Potter), Steven Spielberg, Bunda Theresa, dan Bill Gates adalah introvert.
Berapa banyak orang introvert?
Saya melakukan riset mendalam untuk menjawab pertanyaan ini, di Google. Jawabannya: sekitar 25 persen dari seluruh populasi. Atau kurang dari setengah. Atau, —favorit saya—“Kelompok minoritas di kalangan umum, tapi mayoritas di kalangan manusia berbakat”.
Apakah para introvert kerap disalahpahami?
Sangat, di mana-mana. Seakan-akan itu memang sudah jadi porsi kami. “Sangat sulit bagi seorang ekstrovert untuk memahami introvert,” tulis pakar pendidikan Jill D. Burruss dan Lisa Kaenzig (mereka jugalah yang menjadi sumber kutipan kalimat favorit di akhir paragraf sebelumnya). Namun para introvert mampu memahami ekstrovert dengan sangat mudah, karena para ekstrovert menggunakan begitu banyak waktu mereka untuk berusaha keras menunjukkan siapa dirinya—dengan pembicaraan yang begitu banyak dan kadang tak bisa dihindari—ketika berinteraksi dengan orang lain. Mereka begitu terbukanya, seperti seekor anak anjing yang sedang lucu-lucunya.
Namun sayangnya jalan ini hanya jalan satu arah. Para ekstrovert hanya memiliki pemahaman yang sedikit, atau bahkan sama sekali tidak memahami, persoalan introversi. Mereka berasumsi bahwa kebersamaan, khususnya jika bersama mereka (yang ekstrovert), adalah hal yang selalu lebih menyenangkan bagi semua orang. Mereka tidak mampu membayangkan bagaimana mungkin ada manusia yang butuh untuk sendirian; bahkan kerap justru merasa tersinggung kepada mereka yang mengemukakan kebutuhan menyendirinya ini. Sesering saya berusaha menjelaskan hal ini kepada para ekstrovert, saya belum pernah benar-benar merasa yakin bahwa mereka sungguh-sungguh memahami. Biasanya mereka cuma mendengarkan sesaat, lalu kembali menggonggong dan mendengking lucu.
Apa para introvert tersisih?
Apa boleh buat, saya harus mengatakan “ya”. Lihat satu hal, bahwa para ekstrovert sudah terlalu banyak terwakili dalam dunia politik, profesi yang sangat menyenangkan hanya bagi mereka yang gemar bicara kesana kemari. Lihat George W. Bush. Lihat Bill Clinton. Mereka seperti sangat penuh daya hidup ketika keberadaannya disekitar orang lain. Jika mengingat kembali beberapa introvert yang berhasil menyentuh puncak di dunia politik—Calvin Coolidge, Richard Nixon—justru menegaskan hal tersebut. Pengecualian, mungkin Ronald Reagan, yang terkenal menjaga jarak emosional maupun kehidupan pribadinya, bisa jadi merupakan tanda adanya garis introvert yang dalam (saya pernah baca, banyak sekali aktor adalah introvert; dan banyak introvert, ketika bersosialisasi, merasa seperti sedang akting), para introvert tidak dipandang “berbakat alami” dalam dunia politik.
Maka, ekstrovert lebih mendominasi dunia publik. Ini sebenarnya patut disayangkan. Jika para introvert yang menjalankan kepemimpinan di dunia, agaknya dunia akan menjadi tempat yang lebih tenang, lebih waras dan lebih damai. Konon Coolidge pernah bilang, “Tahukah anda, bahwa empat dari lima persoalan hidup akan hilang jika kita bisa duduk diam dan tenang?” (Ia juga konon pernah bilang, “Kalau seseorang diam, maka ia tidak akan diminta untuk mengulangi.” Satu hal yang paling tidak disukai introvert selain berbicara tentang dirinya, adalah mengulangi apa yang diucapkannya).
Karena kebutuhan akan bicara dan perhatian yang tak habis-habisnya, para ekstrovert lebih dominan dalam kehidupan sosial sehingga standar-standar pun ditetapkan secara ekstrovert. Dalam masyarakat ekstrovertis kita ini, orang yang terbukalah yang dianggap normal, sehingga orang semua orang ingin menjadi terbuka. Sifat “terbuka” menjadi ciri kebahagiaan, percaya diri, atau kemampuan memimpin. Orang yang ekstrovert kerap disebut dengan kata-kata “besar hati”, “menularkan kebahagiaan”, “hangat”, “empatik”. “Sosok yang disukai semua” menjadi sebuah pujian. Introvert, sebaliknya, umumnya dideskripsikan dengan kata-kata seperti “terlalu berhati-hati”, “penyendiri”, “lambat”, “tak suka bicara”, “tak butuh orang lain”, “pilih-pilih teman”—kata-kata yang sempit, tak ramah, kata-kata yang bermakna miskin secara emosional, atau kepribadian yang kerdil.
Para perempuan introvert, menurut saya, adalah yang paling menderita. Dalam lingkungan tertentu, khususnya di dunia barat, seorang pria bisa tidak terlalu bermasalah dengan julukan-julukan yang menggambarkan sifat-sifat yang “kukuh tapi diam”. Namun perempuan introvert, karena tidak memiliki alternatif itu, akan lebih cenderung dianggap sebagai tidak percaya diri, menarik diri, atau angkuh.
Apakah para introvert sombong atau arogan?
Sangat jarang. Agaknya kesalahpahaman umum ini disebabkan oleh para introvert yang cenderung lebih cerdas, lebih perenung, lebih independen, lebih berkepala dingin, lebih halus dan lebih sensitif dibandingkan ekstrovert. Juga, karena kurangnya kemampuan introvert dalam berbasa-basi, kekurangan yang kerap menjadi bahan celaan oleh para ekstrovert. Introvert cenderung berfikir sebelum berbicara, sementara ekstrovert cenderung berfikir dengan bicara. Ini menjadi sebab kenapa rapat orang ekstrovert tidak akan bisa memakan waktu kurang dari enam jam.
“Para introvert”, tulis seorang pintar bernama Thomas P. Crouser dalam sebuah resensi onine dari buku berjudul “Why Should Extroverts Make All the Money?” (judul itu juga tidak saya buat-buat), “seringkali dikacaukan konsentrasinya dan dibuat bingung oleh dialog-dialog ’setengah internal’ yang biasanya ditampilkan para ekstrovert. Sementara para introvert tidak akan mengeluhkan hal ini secara terbuka, mereka hanya akan mengalihkan pandangan mata dan ‘diam-diam mengutuki kegelapan’.” Begitulah memang.
Yang terburuk adalah, ekstrovert benar-benar tak menyadari tekanan yang mereka timpakan kepada para introvert. Kadang, sambil megap-megap mencari nafas di dalam tebalnya asap pembicaraan ekstrovert yang 98-persen-bebas-kandungan-makna itu, seorang introvert bisa bertanya-tanya apakah para ekstrovert benar-benar pernah mencoba untuk mendengarkan dirinya sendiri berbicara. Namun demikian, introvertyang menimbulkan kecanggungan. dengan teguh kukuh berlapis baja tetap berupaya menahan dan menanggung derita ini, karena buku-buku etiket—tak ragu lagi, pasti ditulis oleh ekstrovert—menulis bahwa tidak balik membalas candaan itu tidak sopan, dan membiarkan adanya jeda diam di tengah pembicaraan adalah hal
Kami hanya bisa berharap bahwa kelak, ketika keadaan kami ini sudah bisa dipahami secara lebih luas, ketika gerakan “tegakkan hak asasi kaum introvert” ternyata sudah berkembang dan berbuah, bukan lagi dianggap sebagai suatu hal yang tidak sopan jika seseorang mengatakan, “Saya introvert. Anda orang yang
menyenangkan, dan saya senang bersama anda. Tapi sekarang, tolong diam, ssssshhht.”
menyenangkan, dan saya senang bersama anda. Tapi sekarang, tolong diam, ssssshhht.”
Bagaimana cara menunjukkan pada para introvert di kehidupan saya, bahwa saya mendukung dan menghargai pilihannya?
Pertama, mohon dipahami bahwa itu bukan pilihan. Itu bukan sebuah gaya hidup yang dipilih. Itu adalah orientasi kepribadian.
Kedua, ketika melihat seorang introvert sedang diam dan menyelami pikirannya sendiri, tidak perlu bertanya, “Ada apa?” atau “Kamu baik-baik saja?”
Ketiga, tidak perlu berkata apa-apa juga, sih.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih.. semoga bermanfaat